Seorang teman menanyakan pada saya, apa saja yang dikerjakan oleh Arsitek?
Dia bilang kalau kebetulan kakak teman saya ini lulusan teknik sipil, dan
kakaknya ini juga biasa menggambar dan mendesain rumah, kemudian dia bertanya,
lalu kalau arsiteknya sendiri itu ngapain?
Hmmm..saya yang baru lulus kuliah Arsitektur 3 tahun lalu dan masih belum
punya banyak pengalaman mencoba menjelaskan, apa saja yang saya pelajari, alami
ketika kuliah, bagaimana perjuangannya sampai saat ini ketika sudah bekerja di
dunia professional. Saya memulai perbincangan hangat ini dengan bahasa awam,
karena kalau saya coba jelaskan secara teknis juga nantinya ngga bakalan
nyambung.
Menjadi arsitek adalah suatu profesi dibidang jasa, dimana kreativitas dan
keahlian lah yang berbicara. Seperti contoh analogi dalam ilmu eksak berkata
kalau 1+1 = 2,,maka di dunia arsitektur kita dilatih se “kreatif” mungkin
supaya hasilnya =2. Misal bukankah tidak hanya 1+1=2, kan bisa saja √4 = 2,,
atau 5-3 = 2 atau 69-67 = 2,,”bukan begitu?bisa dipahami sampai disini?ini
hanya logika sederhana saja, karena sebenarnya tidak se sederhana ini,hahaha”,
begitu saya berkata.
Kemudian saya lanjutkan ceritanya, bahwa kami juga dilatih kepekaan,
kepekaan apa?kepekaan apa saja? Bidang, geometri, warna, suasana, estetika,dll.
Mengapa harus peka?lalu saya coba ambil kertas kosong dan bullpen, lalu saya
menggambar kubus dan balok. Saya bertanya pada dia, “kubus sama balok ini
supaya bagus diapakan?” kemudian dia pun mencoba menggambar “ya kayak gini aja
pak (kubus sama balok ditumpuk)” lalu saya pun menjelaskan, dari logika 1+1 = 2
tadi kenapa hanya ditumpuk saja?kalau baloknya ditembusin ke dalam kubus? Kalau
numpuknya nda horizontal?atau kalau semisal kubusnya di iris diagonal lalu disambung
dengan balok? Bukankah akan lebih memberikan alternative di luar pemikiran
biasa kita “out of the box” dalam bahasa Maduranya.
Nah itu masih dari logika 1+1 = 2 digabung dengan bentuk geometri, kalau
kedua hal tersebut digabung dengan teori warna? Warna apa yang bisa terlihat
bagus? apakah merah cocok digabung dengan warna hijau?atau dengan ungu?atau
bagaimana? Warna merah mengesankan apa?warna hitam mengesankan apa? Kesan apa
yang dibangun dengan gabungan bentuk geometri dengan warna tersebut? dan masih
banyak lagi teori warna. Disinilah kami diajari di awal awal kuliah, mengenai
kepekaan. Kepekaan yang disebutkan diatas itupun masih belum menyentuh sisi
arsitektur secara mendalam apalagi sisi teknisnya.
Oke bagaimana kalau dihubungkan pada sisi teknisnya? Lalu saya coba
mengambil contoh yang sangat sederhana, yaitu rumah tinggal. Dengan lahan lebar
segini dan panjang segini, kebutuhan ruang apa saja yang diinginkan? Kalau ada
ruang tidur, supaya terasa nyaman harus memiliki dimensi berapa x berapa
meter? Nantinya ruang tidur ini diisi berapa orang? 1 orang kah? 2 orang kah?
Kan nda lucu ketika sudah dibangun eh ternyata ruangannya kekecilan apalagi
mebel-mebel nda bisa masuk, kan nda lucu juga membuat kamar tidur yang besar
dan menghabiskan lahan banyak namun masih ada beberapa kebutuhan ruang lain
yang harus dikorbankan karena keterbatasan lahan. Lalu bagaimana dengan
sirkulasi ruangnya? Apakah dari luar seperti rumah-rumah pada umumnya di
Indonesia yaitu langsung ruang tamu?
Nah ini masih dari sisi denah, bagaimana jika denahnya sudah jadi? Maka yang
perlu dipikirkan adalah akan seperti apa bentuk rumahnya? Ini jika si arsitek
beraliran dari denah lalu bergerak ke bentukan arsitekturalnya. Malah ada juga
arsitek yang mulai men”desain” dari bentuk arsitektural lalu denah akan
menyesuaikan dari bentukannya tersebut.
Jika bentukan arsitekturalnya sudah terbuat, bagaimana dengan material
finishingnya? Apakah hanya di cat saja? Pake batu alam? Kayu? Bata ekspose? Nah
balik lagi ke teori 1+1=2 tadi. Dan masih buanyak (pake “U”) lagi yang harus
diperhatikan. Kalau di jabarkan ada berbagai macam, seperti apa saja kebutuhan
klien? Kepekaan dimensi & ukuran, lalu bagaimana dengan strukturnya? Iya
kalau rumah 1 lantai, kalau 10 lantai?20 lantai?lalu bagaimana estetikanya?
Belum lagi electricalnya, kalau contoh sederhananya mau taruh lampu
dimana?dimana letak saklar nya?stop kontaknya?supaya pas mebelnya. Belum lagi
sirkulasi udara di gedung bertingkat, mau pake AC apa? Bagaimana prinsip kerja
ductingnya? Sprinklernya jika nanti terjadi kebakaran? Tangga emergency standar
nya seperti apa? Mengapa harus ada tangga emergency?
Lalu bagiamana dengan lingkungan sekitar? Apa hubungannya lingkungan sekitar
dengan arsitektur? Jika pake contoh sederhana, menghadap kemanakah rumah yang
akan di desain? Utara kah? Selatan kah? Timur kah? Barat kah? Apa kaitannya
dengan arah hadap rumah? Apa pengaruhnya? Lalu bagaimana solusinya? Missal
rumah menghadap barat, tentunya di pagi hari kurang mendapat sinar matahari, namun
sebaliknya di sore hari mendapat banyak sinar matahari yang panas karena efek
dari temperatur siang hari yang masih belum hilang, berbeda dengan pagi hari
yang masih dingin karena efek dari temperature malam hari. Lalu apa solusinya
agar rumah tidak panas meskipun menghadap kea rah barat? Nah itu jika rumah
kita di daerah tropis dimana matahari tiap 6 bulan sekali agak condong ke utara
atau agak condong ke selatan (pelajaran geografi SD, SMP, SMA) lalu bagaimana
jika rumahnya di daerah subtropics? 4 musim, tidak hanya musim kemarau dan
hujan saja. Akan seperti apa arsitekturalnya akibat dari pengaruh lingkungan
tersebut agar manusia yang tinggal di dalamnya tetap merasa nyaman?
Lalu bagaimana dengan keadaan budaya sekitar? Apalagi sekarang lagi nge trend
model minimalis, apakah ketika mendesain di Papua juga tetap menggunakan desain
minimalis? Bagaimana jika di Sulawesi? Di Sumatra? Di Kalimantan? Apakah
semuanya dipukul rata desain minimalis?
Arsitek tidak hanya belajar menggambar pakai tangan atau computer
Arsitek tidak hanya belajar menggambar bagus dilihat mata saja.
Arsitek pun harus belajar dan setidaknya memahami interior, psikologi,
geografi, IT, listrik, lingkungan, budaya, sejarah, bahkan hukum dan politik
(ingat polemik desain gedung DPR RI baru-baru ini terjadi?)
Para arsitek mungkin dikira tidak selevel dengan profesi seorang dokter yang
langsung berhubungan dengan nyawa. Karena manusia sakit pasti mau tidak mau
mahal atau tidak harus ke dokter jika ingin sembuh atau jika tidak ingin meninggal.
Kalau arsitek? Yang punya rumah jika tidak mau ribet ya tinggal panggil
tukang, beres sudah. Namun jangan salah, arsitek juga punya beban dan tanggung
besar terhadap hasil desainnya yang sudah dibangun. Bertanggung jawab tidak
hanya pada pengguna jasa si arsitek, tapi juga terhadap manusia dan lingkungan
sekitarnya, karena hasil desainnya telah berdiri dan akan berdiri disana sangat
lama, dan yang melihat bukan hanya penghuninya, dan yang merasakan dampak
arsitekturnya juga bukan hanya pada penghuninya, namun juga lingkungan sekitar.
Arsitek tidak melulu jasa feenya mahal-mahal untuk mendesain (mahal karena
mereka menjadi arsitek tidak lah mudah dan butuh proses panjang). Namun ada
juga kok arsitek yang masih punya rasa peduli dan empati terhadap masyarakat
yang latar belakang ekonominya menengah ke bawah, missal ada rumah murahnya Yu
Sing, ada penataan kampungnya pak Johan Silas, ada public space nya Ridwan
Kamil, ada desain budaya nya Han Awal, dll. Disitu para arsiteklah yang ikut
berperan di dalamnya.
Jadi apresiasilah seorang arsitek sebagai seorang “Arsitek” bukan tukang
gambar, agar mereka tidak merasa rendah diri dan melacurkan diri demi uang agar
bisa tetap hidup. Karena bagi seorang arsitek apresiasilah yang menjadi nomer
satu jika karya dan desain mereka dihargai. Karena ada kebanggaan tersendiri di
dalam hati mereka jika mereka ternyata berguna bagi manusia dan lingkungan
sekitar.
Menjadi arsitek “tidak semudah membalikkan telapak tangan” begitupun
profesi-profesi lain, “no pain, no gain” (contoh-contoh dan
pertanyaan-pertanyaan yang disebutkan hanyalah beberapa contoh sederhana)
I Nyoman Sunartha